Tulisan ini dibuat berawal ketika saya berbincang dengan seorang teman yang sedang internship di Laboratorium Kimia Bahan Alam Farmasi ITB. Beliau seorang mahasiswa S1 dari Jerman yang berkebangsaan Iran. Kenapa saya bisa tahu? It’s something called ‘accident’, maybe.
Semula saya menanyakan kenapa namanya indonesia banget, banget, trus islami banget, pas ditanya “are you a mosleema?” Dia jawabnya, “yes, i was born as a mosleema”. Dalam batin langsung bilang subhanallah deh, udah cantik, kuliah di Jerman, islam lagi, ramah lagi. Nah, ga sengaja temen ku satu nya lagi nanya, “and now?”, dan jawaban dia bikin kaget, ternyata dia sekarang adalah seorang atheis. Katanya beliau dilahirkan sebagai muslim, tapi dia menjadi seorang yang tidak mau mengenal agama, alasannya simpel, dia tidak percaya tuhan karena tidak nyata.
Dari kejadian tersebut, satu hal yang bisa diambil pelajaran adalah ‘Peran Orang Tua’. Yah, kalo dilihat sekilas mungkin ini adalah salah si anak yang rasa ingin tahu nya kurang sehingga tidak ada sense of searching nya. Tapi coba deh ditelisik lebih dalam, masa-masa golden age-nya anak pasti di bawah pengawasan orang tua-nya. Di masa ini lah keingintahuan anak mulai berkembang, dan ketika orang tua tidak memberikan apa yang dibutuhkan dan menjadi hak anaknya, dalam kata lain apa yang harus nya diberikan oleh orang tua kepada anak tidak ditunaikan, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi pada anak. Yang pertama, seorang anak akan menerima apa adanya tanpa mencari dan menganggap apa yang tidak diberikan oleh orang tuanya itu tidak ada. Dan kemungkinan yang kedua, seorang anak akan mencari apa yang mengganjal di hatinya, hal ini biasanya terjadi pada anak yang berada pada lingkungan yang kondusif. Nah, disinilah orang tua berperan. Berperan dalam mengarahkan anak menuju koridor yang semestinya. Menitah anak dalam pencarian jati diri pada jalur yang semestinya. Apalagi untuk seorang yang terlahir sebagai muslim, seharusnya tetap bisa dijaga sampai si anak bisa mencari sendiri sisi keindahan dalam islam dengan benar.
Kemudian, apa ngaruhnya buat kita? Ya belajar lah. Yap, belajar mulai sekarang, buat siapapun yang akan menjadi orang tua nantinya. Bekali diri kita dengan ilmu, mulai dari ilmu tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik, sampai ilmu bagaimana menyelesaikan permasalahan-permalasahan dalam rumah tangga. Bisa dilihat kondisi sekarang, kebanyakan orang membangun rumah tangga tanpa persiapan ilmu, hanya duniawi yang mereka persiapkan, hasilnya? yang ada masalah-masalah yang ada terpecahkan menjadi masalah-masalah lain yang mungkin lebih rumit. Namun, untuk orang yang telah terbekali dengan ilmu, bukan berarti rumah tangga adem ayem, tenang tanpa masalah, tapi adanya masalah menjadi sebuah pembelajaran bagi mereka dan dapat diselesaikan dengan bijak, inilah namanya keluarga yang diberikan sakinah di dalamnya oleh Allah.
“man araada ad-dunya, fa’alaihi bil ‘imi, wa man araada al-akhirah fa’alaihi bil’ ‘ilmi, wa man araadahuma fa’alaihi bil ‘ilmi”
Semua memang butuh ilmu. kalau anak jaman sekarang (emang saya anak jaman kapan? hehe) ditanya tentang merencanakan masa depan (membangun rumah tangga, red) kebanyakan jawabannya adalah belum siap. Dan kalau pertanyaan ini diulang lagi untuk lusa, seminggu kemudian, sebulan kemudian, atau bahkan 2 tahun kemudian, rata-rata sih jawabannya tetep ‘belum siap’. Pertanyaannya, “mau sampai kapan???”. Kalau memang belum siap, bukan berarti lantas bersantai ria tanpa usaha. Kata mas danang yang di tipi nih, “kalau ga siap, ya disiapin!!” Yap, kalau memang belum siap, siapkan mulai dari sekarang kata Aa Gym. Jangan ditunda-tunda sampai pada waktunya tiba nanti jadi bom waktu buat kita. Persiapan untuk membina rumah tangga itu bukan cuma pesen WO, catering, perias, baju pengantin dan tetek bengek nya. Moreover, ilmu jauh lebih penting disiapin, kawan. Karena ilmu ini lah yang akan mengantarkan rumah tangga itu menjadi sebuah keluarga yang amat sangat dirindukan oleh surga. Coba deh di-list buku yang kira-kira menunjang dan mendukung untuk mempersiapkan diri menuju masa depan tersebut, bisa jadi 50 buku, bisa jadi… Nah kalau ga dimulai dari sekarang, mau kapan lagi kan?
Makanya yuk, apalagi kita para wanita pejuang surga (aamiin ^^), bekali diri kita dengan semua yang bisa mengantarkan kita menjemput pahala-Nya yang terindah, dengan memperbanyak ilmu yang manfaat. Karena, kita yang nantinya sebagai seorang ibu (aamiin) adalah tempat belajar pertama untuk anak kita. Menjadi sebuah madrasah sebagai tempat pengkaderan calon penerus yang berkualitas, lebih dari pencapaian kualitas orang tuanya. Madrasah dimana sang anak akan berkembang dengan baik kemampuan berpikir dan bertindak serta tuturnya. Madrasah tempat anak ditempa menjadi sekuat Umar, bijaksana laksana Abu Bakar, selembut Ustman, dan tangguh seperti Ali. Generasi yang semacam ini, hanya akan terbentuk dari madrasah yang luar biasa. Jika kita mempersiapkan segala sesuatu nya untuk menjadi sebuah madrasah yang bukan sembarang madrasah biasa, itu artinya kita mempersiapkan generasi terbaik. Idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq. InsyaAllah.